Senin, 22 Desember 2014

JAMINAN FIDUSIA

oleh: Artha Diana Putri

oleh: Mas Isharyanto
diposting pada tanggal: 05 April 2013| 23:21
diunduh: 11 Desember 2014

Sekelumit tentang Jaminan Fidusia (Pengertian)

Lembaga jaminan fidusia merupakan lembaga jaminan yang secara yuridis formal diakui sejak berlakunya Undang-undang No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia. Sebelum Undang-undang ini dibentuk, lembaga ini disebut dengan bermacam- macam nama. Zaman Romawi menyebutnya”Fiducia cum creditore” Asser Van Oven menyebutnya “zekerheids-eigendom” (hak milik sebagai jaminan), Blom menyebutnya “bezitloos zekerheidsrecht” (hak jaminan tanpa penguasaan), Kahrel memberi nama “Verruimd Pandbegrip” (pengertian gadai yang diperluas), A. Veenhooven dalam menyebutnya “eigendoms overdracht tot zekergeid” (penyerahan hak milik sebagai jaminan) sebagai singkatan dapat dipergunakan istilah “fidusia” saja.
Fidusia dalam bahasa Indonesia disebut juga dengan istilah “penyerahan hak milik secara kepercayaan”. Dalam terminologi Belandanya sering disebut dengan istilah lengkapnya berupa Fiduciare Eigendoms Overdracht (FEO), sedangkan dalam bahasa Inggrisnya secara lengkap sering disebut istilah Fiduciary Transfer of Ownership.
Sedangkan pengertian fidusia berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU No 42/1999 adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tetap dalam penguasaan pemilik benda. Pengertian jaminan fidusia itu sendiri adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan pemberi fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima Jaminan fidusia kreditur lainnya.
Dalam ketentuan Pasal 1 angka 2 UU No 42/1999 menyatakan, bahwa jaminan fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik berwujud maupun tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani dengan hak tanggungan, yang tetap berada dalam penguasaan pemberi fidusia sebagai agunan bagi pelunasan hutang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia terhadap kreditur lainnya.
Adapun sifat mendahului (droit de preference) dalam jaminan fidusia sama halnya seperti hak agunan kebendaan lainnya seperti gadai yang diatur dalam Pasal 1150 KUH Perdata, hak tanggungan Pasal 1 angka 1 Undang-undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, maka jaminan fidusia menganut prinsip droit de preference. Sesuai ketentuan Pasal 28 UUF, prinsip ini berlaku sejak tanggal pendaftaran pada Kantor Pendaftaran Fidusia. Jadi di sini berlaku adagium “first registered first secured”. Droite de suite jaminan fidusia tetap mengikuti benda yang menjadi obyek jaminan dalam tangan siapapun benda tersebut berada, kecuali pengalihan atas benda persediaan yang menjadi obyek jaminan fidusia. Ketentuan ini merupakan pengakuan atas prinsip droite de suite yang telah merupakan bagian peraturan perundang- undangan Indonesia dalam kaitannya dengan hak mutlak atas kebendaan (in rem).
Sebelum berlakunya UU No. 42/ 1999 tersebut benda yang menjadi obyek fidusia umumnya merupakan benda-benda bergerak yang terdiri dari benda inventory, benda dagangan, piutang, peralatan mesin dan kendaraan bermotor. Namun sejak berlakunya UU No. 42 /1999, pengertian jaminan fidusia diperluas sehingga yang menjadi obyek jaminan fidusia mencakup benda-benda bergerak yang berwujud maupun tidak berwujud serta benda tidak bergerak yang tidak dapat dibebani dengan hak tanggungan menurut UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan. Benda yang menjadi obyek jaminan fidusia adalah benda yang dapat dimiliki dan dialihkan hak kepemilikannya, baik benda itu berwujud maupun tidak berwujud, terdaftar maupun tidak terdaftar, bergerak maupun tidak bergerak yang tidak dapat dibebani dengan hak tanggungan atau hipotik.
Perjanjian jaminan fidusia berdasarkan UU dilaksanakan melalui 2 (dua) tahap, yaitu tahap pembebanan dan tahap pendaftaran jaminan fidusia. Berdasarkan Pasal 5 ayat (1) UU dinyatakan: Pembebanan benda dengan jaminan fidusia dibuat dengan Akta Notaris dalam Bahasa Indonesia dan merupakan akta jaminan fidusia. Akta Notaris merupakan salah satu wujud akta otentik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1868 KUH Perdata. Setelah tahapan pembebanan dilaksanakan berdasarkan ketentuan UUF No. 42 Tahun 1999 akta perjanjian jaminan fidusia tersebut diwajibkan untuk didaftarkan berdasarkan ketentuan Pasal 11 ayat (1) UUF, yang menyatakan bahwa benda yang dibebani dengan jaminan fidusia wajib didaftarkan. Adapun tata cara pendaftaran jaminan fidusia yang dilakukan oleh penerima fidusia di Kantor Pendaftaran Fidusia sehubungan adanya permohonan pendaftaran jaminan fidusia oleh penerima fidusia, diatur lebih lanjut berdasarkan PP No. 86 Tahun 2000 tentang tata cara Pendaftaran Jaminan Fidusia.
Apabila debitur atau pemberi fidusia cidera janji, dengan Sertipikat Jaminan Fidusia bagi kreditur selaku penerima fidusia akan mempermudah dalam pelaksanaan eksekusi terhadap benda yang menjadi obyek jaminan fidusia, pelaksanaan titel eksekutorial dari sertipikat Jaminan Fidusia sebagaimana dalam Pasal 29 ayat (1) UU No 42/1999.Dalam rangka pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia, pemberi fidusia wajib menyerahkan benda yang menjadi obyek jaminan fidusia. Apabila pemberi fidusia tidak menyerahkannya pada waktu eksekusi dilaksankan, penerima fidusia berhak mengambil benda yang menjadi obyek jaminan fidusia dan apabila perlu dapat meminta bantuan pihak yang berwenang. Setiap janji untuk melaksanakan eksekusi terhadap benda yang menjadi obyek jaminan fidusia dengan cara yang bertentangan dengan ketentuan tersebut diatas, batal demi hukum. Dalam hasil eksekusi melebihi nilai penjaminan, penerima fidusia wajib mengembalikan kelebihan tersebut kepada pemberi fidusia, namun apabila hasil eksekusi tidak mencukupi untuk pelunasan utang, debitur tetap bertanggung jawab atas utang yang belum terbayar.


diunduh: 11 Desember 2014
oleh: kamus bisnis



Perjanjian Fidusia
Perjanjian fidusia adalah perjanjian hutang piutang antara kreditur dengan debitur yang melibatkan penjaminan yang kedudukannya tetap dalam penguasaan pemilik jaminan. Untuk menjamin kepastian hukum bagi kreditur, dibuat akta notaris dan didaftarkan ke Kantor Pendaftaran Fidusia. Kreditur akan memperoleh sertifikat jaminan fidusia yang memiliki kekuatan hak eksekutorial langsung apabila debitur melakukan pelanggaran perjanjian fidusia kepada kreditor (parate eksekusi), sesuai UU No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia


SUMBER:
http://kantorhukumkalingga.blogspot.com/2013/08/tata-cara-pendaftaran-perubahan.html?m=1

TATA CARA PENDAFTARAN, PERUBAHAN, PENGHAPUSAN/ PENCORETAN SERTIFIKAT JAMINAN FIDUSIA DAN PENGAJUAN PERMOHONAN SERTIFIKAT PENGGANTI JAMINAN FIDUSIA

Dasar Hukum:

1.       Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia;
2.       Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan Fidusia;
3.       Peraturan Pemerintah Nomor 87 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 1999 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Departemen Hukum;
4.       Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 139 Tahun 2000 tentang Pembentukan Kantor Pendaftaran Fidusia di Setiap Ibukota Propinsi di Wilayah Negara Republik Indonesia;
5.       Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M-01.UM.01.06 Tahun 2000 tentang Bentuk Formulir dan Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia;
6.       Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.08-PR.07.01 Tahun 2000 tentang Pembukaan Kantor Pendaftaran Jaminan Fidusia;
7.       Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M-03.PR.07.10 Tahun 2001 tentang Pembukaan Kantor Pendaftaran Fidusia di Seluruh Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia;
8.       Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M-02.PR.07.10 Tahun 2002 tentang Perubahan Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M-03.PR.07.10 Tahun 2001 tentang Pembukaan Kantor Pendaftaran Fidusia di Seluruh Kantor Wilayah Depertemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia;
9.       Surat Edaran Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum Nomor C.UM.01.10-11 Tahun 2001 tentang Penghitungan Penetapan Jangka Waktu Penyesuaian dan Pendaftaran Perjanjian Jaminan Fidusia.
10.   Surat Edaran Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum Nomor C.UM.02.03-31 tanggal 8 Juli 2002 tentang Standarisasi Laporan Pendaftaran Fidusia dan Registrasi.
11.   Surat Edaran Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum Nomor C.HT.01.10-22 Tahun 2005 tentang Standarisasi Prosedur Pendaftaran Jaminan Fidusia.

Persyaratan:

a. Surat permohonan Pendaftaran Jaminan Fidusia diajukan kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia.
b.      Salinan akta Notaris.
c. Surat kuasa/surat pendelegasian wewenang atau wakilnya dengan melampirkan pernyataan Jaminan Fidusia.
d.                        Melampirkan lembar pernyataan (Lampiran I Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M-01.UM.01.06 Tahun 2000 – angka 5)
e.      Bukti pembayaran Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).

Prosedur:

I.              Pendaftaran Sertifikat Jaminan Fidusia:

Permohonan diajukan kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia melalui Kantor Pendaftaran Fidusia di tempat kedudukan pemberi fidusia secara tertulis dalam bahasa Indonesia oleh penerima fidusia, kuasa atau wakilnya, dengan melampirkan pernyataan Pendaftaran Jaminan Fidusia dan mengisi formulir yang bentuk dan isinya ditetapkan dengan Lampiran I Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M-01.UM.01.06 Tahun 2000, yang isinya:
1         Identitas pihak pemberi dan penerima yang meliputi:
-          Nama lengkap.
-          Tempat tinggal/tempat kedudukan.
-          Pekerjaan.
2         Tanggal dan nomor akta Jaminan Fidusia, nama dan tempat kedudukan Notaris yang memuat akta Jaminan Fidusia.
3         Data perjanjian pokok yaitu mengenai macam perjanjian dan utang yang dijamin dengan fidusia.
4         Uraian mengenai benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia (Lihat penjelasan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999).
5         Nilai penjamin
6         Nilai benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia.

II.            Perubahan Sertifikat Jaminan Fidusia:

1.       Permohonan diajukan oleh penerima fidusia, kuasa atau wakilnya kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia secara tertulis dalam bahasa Indonesia melalui Kantor Pendaftaran Fidusia Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum, apabila Sertifikat Jaminan Fidusia dikeluarkan oleh Kantor Pendaftaran Fidusia Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum.
2.       Melampirkan Sertifikat Jaminan Fidusia dan pernyataan perubahan.
3.       Biaya permohonan.
4.       Pernyataan perubahan dilakukan pada tanggal yang sama dengan tanggal pencatatan permohonan, setelah selesai dilekatkan pada Sertifikat Jaminan Fidusia untuk diserahkan kepada pemohon yaitu penerima fidusia, kuasa atau wakilnya.
5.       Melampirkan Lembar Pernyataan Lampiran II Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.01.UM.01.06 Tahun 2000.


III.          Penghapusan/pencoretan Sertifikat Jaminan Fidusia:

1.  Hapusnya Jaminan Fidusia wajib diberitahukan secara tertulis kepada Kantor Pendaftaran Fidusia paling lambat 7 hari setelah hapus.
2.    Lampiran dokumen pendukung:
§ Permohonan oleh penerima fidusia, kuasa atau wakilnya pada Kantor Pendaftaran Fidusia di tempat kedudukan pemberi fidusia.
§ Sertifikat Jaminan Fidusia yang asli.
3.   Kantor Pendaftaran Fidusia mencoret pencatatan Jaminan Fidusia dari Buku Daftar Fidusia.
4.   Kantor Pendaftaran Fidusia menerbitkan surat keterangan yang menyatakan Sertifikat Jaminan Fidusia yang bersangkutan tidak berlaku lagi dan sertifikat dicoret dan disimpan dalam arsip Kantor Pendaftaran Fidusia.

IV.          Sertifikat Pengganti.

1.  Apabila rusak atau hilang, permohonan diajukan oleh penerima fidusia, kuasa atau wakilnya kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia secara tertulis dalam bahasa Indonesia.
2.   Surat keterangan hilang dari kepolisian atas permohonan yang bersangkutan.
3.   Sertifikat Pengganti diterbitkan dengan nomor dan tanggal yang sama dengan yang rusak atau hilang.
4.   Penyerahan pada tanggal yang sama dengan penerimaan permohonan Sertifikat Pengganti.
5.    Biaya permohonan Sertifikat Pengganti.

V.            Cara Kerja Pejabat Penerima Pendaftaran Jaminan Fidusia.

1         Memerikasa kelangkapan persyaratan permohonan.
2         Apabila tidak lengkap, maka langsung dikembalikan,
3         Apabila Lengkap:
o Pejabat mencatat Jaminan Fidusia dalam Buku Daftar Fidusia pada tanggal yang sama dengan tanggal penerimaan permohonan.
o Sertifikat Jaminan Fidusia diterbitkan dan diserahkan kepada pemohon pada tanggal yang sama dengan tanggal pencatatan sesuai Surat Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.01.UM.01.06 Tahun 2000.

Dalam Sertifikat Jaminan Fidusia dicantumkan kata-kata “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”. Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999.

VI.          Catatan.

Sesuai dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 139 Tahun 2000 jo. Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.03.PR.07.10 Tahun 2001 jo. Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.02.PR.07.10 Tahun 2002:
1.       Sejak tanggal 1 April 2001 Kantor Pendaftaran Fidusia Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum sudah tidak lagi melakukan Pendaftaran Sertifikat Jaminan Fidusia dan pendaftaran dilaksanakan di Kantor Pendaftaran Fidusia pada Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia di tempat kedudukan pemberi fidusia.

2.       Sejak tanggal 8 Juli 2002 Kantor Pendaftaran Fidusia Direktorat Perdata Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum difungsikan untuk melakukan perubahan, penghapusan/pencoretan dan mengeluarkan Sertifikat Pengganti atas sertifikat yang terdaftar dan didaftar pada Kantor Pendaftaran Fidusia Direktorat Perdata Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum, dan melakukan pemantauan dan pembinaan teknis terhadap pelaksanaan Pendaftaran Jaminan Fidusia oleh Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia.


sumber: http://www.gatra.com/info-gatranews-imoney/74600-kenali-manfaat-fidusia-bagi-pemilik-kendaraan.html
oleh : Gatranews



Ini Manfaat Fidusia bagi Pemilik Kendaraan

Print
Email
Details
Created on Monday, 27 October 2014 15:55
Jakarta, GATRAnews -  Apakah istilah fidusia masih asing di telinga Anda? Bila ya, sebaiknya Anda wajib membaca artikel ini yang membahas soal fidusia. Pada dasarnya fidusia memberi keuntungan bagi Anda yang membeli kendaraan dengan cara mencicil. Ketika dalam perjanjian kredit kendaraan Anda dengan perusahaan pembiayaan, tersebut poin perihal perjanjian fidusia, itu menandakan kendaraan Anda aman dari sitaan dan kunjungan debt collector. Meski jaminan fidusia ini menguntungkan Anda, tak lantas Anda menggantungkan cicilan dan jadi rajin menunggaknya. Kenali lebih dalam dahulu soal fidusia dan manfaat yang diberikannya.



Apa itu Fidusia?

Menurut Undang-Undang Pasal 1 angka 1 UU No 42/1999, fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tetap dalam penguasaan pemilik benda. Pengertian jaminan fidusia itu sendiri adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan pemberi fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima jaminan fidusia kreditur lainnya.



Kemudian, aturan tersebut diperkuat lagi dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 130/PMK 010/2012 tentang Pendaftaran Fidusia. Pada peraturan ini dijelaskan bahwa setiap multifinance yang memberikan jaminan fidusia wajib mendaftarkan jaminan tersebut kepada kantor pendaftaran fidusia paling lambat 30 hari sejak perjanjian pembiayaan dilakukan.



Jika ada perusahaan multifinance yang belum mendaftarkan jaminan fidusia sesuai ketetapan di atas maka akan dikenakan sanksi oleh regulator. Dalam hal ini pemegang kredit kendaraan yang sudah memiliki jaminan fidusia akan terlindungi haknya dari tagihan debt collector.



Aturan tersebut menguntungkan pihak konsumen. Terlebih mereka yang sudah membayar uang jaminan fidusia kepada perusahaan leasing. Nantinya perusahaan leasing ini yang wajib menyetorkan dana konsumen kepada kantor pendaftaran yang ditunjuk pemerintah. Apabila prosedur seperti ini dijalankan dengan lancar oleh konsumen dan perusahaan leasing, maka konsumen boleh merasa aman karena kendaraan tidak akan disita meski pembayaran cicilan terkadang harus menunggak.



Lain halnya bila ada perusahaan leasing yang tidak mendaftarkan jaminan fidusia kepada Kantor Pendaftaran Fidusia. Konsumen malah dirugikan sebab perjanjian fidusia itu tidak berlaku. Peristiwa seperti ini masih menjamur padahal konsumen sudah menandatangani perjanjian bahwa mereka setuju untuk memberikan hak kepemilikan kepada multifinance sampai kendaraan lunas. Oleh karena itu sering terjadi perjanjian fidusia “bawah tangan”.



Hal ini bukan hanya disebabkan oleh kelalaian dalam pendaftaran jaminan fidusia tetapi perusahaan leasing atau multifinance mengabaikan aturan formal yang berisi setiap perjanjian pembiayaan yang mencantumkan kata-kata “dijaminkan secara fidusia” harus dibuat notaris dan didaftarkan pada kantor fidusia untuk mendapatkan sertifikat.



Keuntungan Fidusia Bagi Konsumen

Berdasarkan UU Jaminan Fidusia, konsumen memperoleh hak dan keuntungan berkat adanya aturan fidusia. Apa saja yang patut diperhatikan konsumen dari adanya UU ini?

1. Peraturan fidusia mengatur setiap perusahaan yang melakukan pembiayaan konsumen untuk kendaraan bermotor dengan pembebanan jaminan fidusia wajib mendaftarkan jaminan fidusia dimaksud pada Kantor Pendaftaran Fidusia sesuai UU yang mengatur mengenai jaminan fidusia.

2. Jangka waktu yang diberikan Kantor Pendaftaran Fidusia bagi perusahaan pembiayaan dalam mendaftarkan jaminan fidusia paling lambat 30 hari terhitung sejak tanggal perjanjian pembiayaan konsumen.

3. Konsumen akan memperoleh keamanan dari adanya penarikan kendaraan bermotor yang sudah diberi jaminan fidusia. Ini terjadi apabila Kantor Pendaftaran Fidusia belum menerbitkan sertifikat jaminan fidusia dan menyerahkannya kepada perusahaan pembiayaan.

4. Perusahaan pembiayaan boleh melakukan penarikan jaminan fidusia berupa kendaraan bermotor apabila telah memenuhi ketentuan dan persyaratan sebagaimana diatur dalam UU mengenai jaminan fidusia. Tentu berdasar pada perjanjian yang telah disepakati oleh para pihak dalam perjanjian pembiayaan konsumen kendaraan bermotor.

5. Kewajiban pendaftaran jaminan fidusia berlaku pula bagi perusahaan yang melakukan pembiayaan konsumen kendaraan bermotor berdasarkan prinsip syariah dan/atau pembiayaan konsumen kendaraan bermotor yang pembiayaannya berasal dari pembiayaan penerusan (channeling) atau pembiayaan bersama (joint financing).

6. Bagi setiap perusahaan pembiayaan yang melanggar setiap ketentuan tersebut maka akan dikenakan sanksi administratif yang berupa peringatan, pembekuan kegiatan usaha, atau pencabutan izin usaha. Sementara jaminan fidusia dapat menjamin utang seperti: utang yang telah ada, utang yang akan timbul di kemudian hari dan telah dijanjikan dalam jumlah tertentu, serta utang pada saat eksekusi yang dapat ditentukan jumlahnya berdasarkan perjanjian pokok dan menimbulkan kewajiban pemenuhan prestasi.


diunduh: 10 Desember 2014
oleh: Moch. Farhan ismail


AKIBAT HUKUM JAMINAN FIDUSIA YANG BELUM DIDAFTARKAN

PERTANYAAN:
1.Bagaimana akibat hukum jika jaminan fidusia belum didaftarkan, kemudian dijadikan pengikat sebagai peminjaman kredit pada bank?
2. Jika kemudian kredit belum sempat dilunasi, dan debitur meninggal dunia, sedangkan jaminan fidusia belum didaftarkan, apa akibat yang diterima oleh bank sebagai pemberi kredit?
3. Apakah dalam hal ini ahli waris dapat dipertanggung-gugatkan oleh bank, atas utang pewaris pada bank?

JAWABAN:
1. Pada dasarnya, sesuai ketentuan Pasal 14 ayat (3) UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (“UUJF”), jaminan fidusia baru lahir pada tanggal yang sama dengan tanggal dicatatnya jaminan Fidusia dalam Buku Daftar Fidusia dan kreditur akan memperoleh sertifikat jaminan fidusia berirah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.” Dengan mendapat sertifikat jaminan fidusia maka kreditur/penerima fidusia serta merta mempunyai hak eksekusi langsung (parate executie), seperti terjadi dalam pinjam meminjam dalam perbankan. Kekuatan hukum sertifikat tersebut sama dengan putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.

Selain itu, untuk pembebanan jaminan fidusia, Pasal 5 ayat (1) UUJF mengamanatkan Pembebanan Benda dengan Jaminan Fidusia dibuat dengan akta notaris dalam bahasa Indonesia dan merupakan akta Jaminan Fidusia. Mengutip tulisan advokat Grace P. Nugroho, S.H. dalam artikel berjudul Eksekusi Terhadap Benda Objek Perjanjian Fidusia Dengan Akta di Bawah Tangan, saat ini, banyak lembaga pembiayaan (finance) dan bank (bank umum maupun perkreditan) menyelenggarakan pembiayaan bagi konsumen (consumer finance), sewa guna usaha (leasing), anjak piutang (factoring). Mereka umumnya menggunakan tata cara perjanjian yang mengikutkan adanya jaminan fidusia bagi objek benda jaminan fidusia, namun ironisnya tidak dibuat dalam akta notaris dan tidak didaftarkan di Kantor Pendaftaran Fidusia untuk mendapat sertifikat. Akta semacam itu dapat disebut akta jaminan fidusia di bawah tangan.

Namun, sesuai dengan amanat UUJF, untuk mendapat perlindungan hukum sebagaimana diatur dalam UUJF, pembebanan benda dengan akta jaminan fidusia harus dibuat dengan akta otentik dan dicatatkan dalam Buku Daftar Fidusia. Jika ketentuan tersebut tidak dipenuhi, hak-hak kreditur tidak mendapat perlindungan sebagaimana disebutkan dalam UUJF.

2. Dalam hal debitur meninggal dunia, sedangkan jaminan fidusia belum didaftarkan, pada dasarnya, terhadap perjanjian yang memberikan penjaminan fidusia di bawah tangan tidak dapat dilakukan eksekusi langsung. Proses eksekusi harus dilakukan dengan cara mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri melalui proses hukum acara yang normal hingga turunnya putusan pengadilan. Selain itu, bank sebagai kreditur menjadi tidak memiliki hak didahulukan (lihat Pasal 27 ayat [1] UUJF) terhadap kreditur lain dalam pengembalian pinjamannya karena penjaminan secara fidusia dianggap tidak sah jika tidak didaftarkan.

Masih menurut Grace P. Nugroho, dalam praktiknya tidak jarang kreditur langsung melakukan eksekusi terhadap barang jaminan fidusia. Mengingat pembiayaan atas barang objek fidusia biasanya tidak full sesuai dengan nilai barang. Atau, debitur sudah melaksanakan kewajiban sebagian dari perjanjian yang dilakukan, sehingga dapat dikatakan bahwa di atas barang tersebut berdiri hak sebagian milik debitur dan sebagian milik kreditur. Jika eksekusi terhadap barang objek fidusia tidak dilakukan melalui badan penilai harga yang resmi atau badan pelelangan umum, tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai Perbuatan Melawan Hukum (PMH) sesuai diatur dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”) dan dapat digugat ganti kerugian.

Grace lebih jauh menjelaskan bahwa dalam konsepsi hukum pidana, eksekusi objek fidusia di bawah tangan (tanpa putusan pengadilan) masuk dalam tindak pidana Pasal 368 KUHPidana jika kreditur melakukan pemaksaan dan ancaman perampasan. Grace menulis bahwa:

“Situasi ini dapat terjadi jika kreditur dalam eksekusi melakukan pemaksaan dan mengambil barang secara sepihak, padahal diketahui dalam barang tersebut sebagian atau seluruhnya milik orang lain. Walaupun juga diketahui bahwa sebagian dari barang tersebut adalah milik kreditur yang mau mengeksekusi tetapi tidak didaftarkan dalam di kantor fidusia.

Bahkan apabila debitur mengalihkan benda objek fidusia yang dilakukan di bawah tangan kepada pihak lain tidak dapat dijerat dengan UUJF, karena tidak sah atau legalnya perjanjian jaminan fidusia yang dibuat. Memang, mungkin saja debitur yang mengalihkan barang objek jaminan fidusia di laporkan atas tuduhan penggelapan sesuai Pasal 372 KUHPidana oleh kreditur. Baik kreditur maupun debitur bisa saling melaporkan karena sebagian dari barang tersebut menjadi milik berdua baik kreditur dan debitur. Dibutuhkan putusan perdata oleh pengadilan negeri setempat untuk mendudukkan porsi masing-masing pemilik barang tersebut untuk kedua belah pihak.”

3. Dalam suatu perikatan utang piutang, pada prinsipnya utang tersebut harus dilunasi oleh debitur. Dan apabila debitur kemudian meninggal sebelum dilunasinya utang tersebut, maka utang tersebut dapat diwariskan kepada ahli warisnya. Hal ini berdasarkan pada ketentuan hukum perdata Pasal 833 ayat (1) KUHPerdata. Pasal tersebut menyatakan bahwa para ahli waris, dengan sendirinya karena hukum, mendapat hak milik atas semua barang, semua hak dan semua piutang orang yang meninggal. Sebagaimana dikemukakan pula oleh J. Satrio, S.H. dalam bukunya “Hukum Waris” (hal. 8), bahwa warisan adalah kekayaan yang berupa kompleks aktiva dan pasiva si pewaris yang berpindah kepada para ahli waris.

Walaupun memang, tiada seorang pun diwajibkan untuk menerima warisan yang jatuh ke tangannya (lihat Pasal 1045 KUHPerdata). Dan bagi ahli waris yang menolak warisan, dianggap tidak pernah menjadi ahli waris (lihat Pasal 1058 KUHPerdata). Dalam hal para ahli waris telah bersedia menerima warisan, maka para ahli waris harus ikut memikul pembayaran utang, hibah wasiat dan beban-beban lain, seimbang dengan apa yang diterima masing-masing dari warisan itu (lihat Pasal 1100 KUHPerdata). Lebih jauh, simak Tagihan Kartu Kredit Diwariskan ke Anak-Cucu? Dengan kata lain, ahli waris dapat digugat oleh pihak bank ketika utang pewaris tidak dilunasi.

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Dasar hukum:
1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek, Staatsblad 1847 No. 23);
2. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht, Staatsblad 1915 No 73);
3. Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.
Indra Juliansyah dan 3 orang lainnya menyukai ini.
Moch. Farhan Ismail
Maaf baru tau, sebelum saya jawab apakah mobil tsb ada masalah kredit macet? Apabila ada, maka selesaikan masalah kredit macet tsb scr kekeluargaan dgn Pihak Lembaga Pembiayaan melalui mekanisme yg diatur dalam Peraturan Bank Indoneisa No 8/19/PBI/2006, apabila mengetahui dan mengalami pelanggaran yg dilakukan oleh pihak lembaga pembiayaan laporkan ke OJK (Otoritas Jasa Keuangan), selanjutnya persoalan mobil yg hilang tsb laporkan ke Instansi Kepolisian di atas (sprt: Polres, Polda, Polri) Instansi Kepolisian atau oknum polisi yg diduga menghilangkan mobil tsb dengan tuduhan pencurian atau melapor kehilangan mobil tsb. Satu hal perlu dipahami bahwa polisi dilarang mengurusi persoalan Fidusia atau hutang piutang sebagaimana Perkap No. 8 Tahun 2011 tentang Pengamanan Jaminan Fidusia dan prosedur eksekusi dalam ranah perdata. Demikian semoga bermanfaat. cc: Sawong Aries Prabowo
Sembunyikan · 16 Februari
Sawong Aries Prabowo
Ndak apa mas moch. Farhan ismail biar. Terlambat daripada sama sekali, bekal ilmu takkan pernah hilang kemakan waktu. Justru saya sangat berterima kasih atas jawabAn ini atas petunjuk nya, Mas !!
Sembunyikan · 17 Februari
Sawong Aries Prabowo
Selamat Pagi Mas farhan, kebetulan ini saya baca tulisan mas dan pertanyaan nomer 2 itu debitur meninggal dunia, ringkas cerita, unit yang di sengketakan pada saat itu dipakai ahli warisnya dan pada sat itu ahli warisnya memakai unit tersebut untuk bekerja ketika mau pulang kerja tiba tiba ada debt colektoor mau ambil un it tersebut yang dipakai saat itu dan ahli waris pergi kekantor polisi terdekat dan titip unit tersebut dan meminta suRAT penitipan dikantor polisi untuk pegangan karena merasa tidak nyaman dan intimidasi oleh debt colektor tersebut , berhubung awam soal hukum ahli waris menunggu waktu sesuai surat penitipan tersebut dan ketika mau ambil unit tersebut ahli waris tidak bisa membawa unit tersebut untuk dibawa pulang dengan alasan menunggu perintah atasan yakni Pak Kasat setelah itu ahli waris membiarkan dan melihat unit tersebut sudah tidak ada di kantor polisi yang terdekat bagamana langkah lebih lanjutnya mas farhan dengan kasus tersebut !!!!!! dermikian info dari kami
Sembunyikan · 30 Agustus 2013
Sawong Aries Prabowo
Selamat Pagi Mas farhan, kebetulan ini saya baca tulisan mas dan pertanyaan nomer 2 itu debitur meninggal dunia, ringkas cerita, unit yang di sengketakan pada saat itu dipakai ahli warisnya dan ketika ahli warisnya memakai unit tersebut mau diambil oleh debt colektor dan ahli waris pergi kepolisian terdekat dan titip unit tersebut beserta suRAT 






Tidak ada komentar:

Posting Komentar