Senin, 22 Desember 2014

Tugas hukum jaminan



Hukum Jaminan
Oleh: Artha Diana Putri

Jaminan adalah suatu yang diberikan kepada kepada kreditur untuk menimbulkan keyakinan bahwa debitur akan memenuhi kewajiban yang dapat dinilai dengan uang yang timbul dari suatu perikatan.[1]
Menurut J. Satrio hukum Jaminan adalah peraturan hukum yang mengatur tentang jaminan-jaminan Piutang seorang Kreditor terhadap Debitor.[2]
Menurut Salim HS Hukum Jaminan adalah keseluruhan dari kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan antara pemberi dan penerima jaminan dalam kaitannya dengan pembebanan untuk mendapatkan fasilitas kredit.[3]
Menurut Hadiesoeprapto Hukum Jaminan adalah sesuatu yang diberikan kepada kreditur untuk menimbulkan keyakinan bahwa debitur akan memenuhi kewajiban yang dapat dinilai dengan uang yang timbul dari suatu perikatan.[4]
Menurut Mariam Darus Badrulzaman Hukum Jaminan adalah suatu tanggungan yang diberikan oleh seorang Debitor dan atau pihak ketigakepada kreditur untuk untuk menjamin  kewajibannya  dalam suatu perikatan.[5]
Menurut Penulis Hukum jaminan adalah seperangkat aturan yang mengatur hubungan hukum antara kreditur dan debitur tentang jaminan Piutang untuk mendapatkan Fasilitas Kredit.

Azas hukum jaminan :
asas publicitet : asas bahwa semua hak, baik hak tanggungan, hak fidusia, dan hipotik harus didaftarkan.
asas specialitet : bahwa hak tanggungan, hak fidusia, dan hak hipotik  hanya dapat dibebankan atas percil atau atas barang – barang yang sudah terdaftar atas nama orang tertentu.
asas tak dapat dibagi – bagi : asas dapat dibaginya hutang tidak dapat mengakibatkan dapat dibaginya hak tanggungan, hak fidusia, hipotik,dan hak gadai walaupun telah dilakukan pembayaran sebagian.
asas inbezittstelling yaitu barang jaminan ( gadai ) harus berada pada penerima gadai.
asas horizontal yaitu bangunan dan tanah bukan merupakan satu kesatuan.

Jaminan ada 2 (dua) yaitu :
Jaminan umum yaitu jaminan dari pihak debitur yang terjadi atau timbul dari undang-undang, yaitu bahwa setiap barang bergerak ataupun tidak bergerak milik debitur menjadi tanggungan utangnya kepada kreditur. Maka apabila debitur wanprestasi maka kreditur dapat meminta pengadilan untuk menyita dan melelang seluruh harta debitur.
Jaminan khusus yaitu bahwa setiap jaminan utang yang bersifat kontraktual, yaitu yang terbit dari perjanjian tertentu, baik yang khusus ditujukan terhadap benda-benda tertentu maupun orang tertentu.

Orang lebih memilih Jaminan Khusus karena :
Eksekusi benda jaminannya lebih mudah, sederhana dan cepat jika debitur melakukan wanprestasi
Kreditur jaminan khusus didahulukan dibanding kereditur jaminan umum dalam pemenuhan piutangnya.

Jaminan Khusus ada 2 (dua) yaitu :
Jaminan kebendaan adalah jaminan yang berupa hak mutlak atas suatu benda, mempunyai hubungan langsung atas benda tertentu debitur, dapat dipertahankan terhadap siapapun, selalu mengikuti bendanya (droit de suite) dan dapat di peralihkan (contoh : Hipotik, gadai dll).
Jaminan immaterial (perorangan) adalah jaminan yang menimbulkan hubungan langsung pada perorangan tertentu, hanya dapat dipertahankan terhadap debitur tertentu, terhadap harta kekayaan debitur umumnya (Contoh borgtocht)

Kasus Sengketa Kerjasama Asset untuk Agunan/Jaminan Kredit Macet Perbankan[6]
Saat ini, Kasus Sengketa Kerjasama Asset untuk Agunan/Jaminan Kredit Perbankan , semakin sering terjadi. Hal ini karena para pihak yang terlibat, Perusahaan (pemilik pekerjaan/proyek) , Mitra Penjamin/Avalist (biasanya pemilik asset untuk diagunkan), bahkan pihak Perbankan sebagai kreditur pun kurang memahami aspek-aspek legal/hukum yang berlaku dan kurang berhati-hati.
Berikut ini saya akan ceritakan sebuah kasus yang kita bisa ambil pelajaran daripadanya.

Awalnya ketika Bank XXX memberikan pinjaman/kredit dalam jangka waktu 12 bulan kepada Debitur yaitu PT. A, yang diwakili oleh Direktur Utama : Tn. H, dan Komisaris Utama Ny. S. Pinjaman/Kredit yang diberikan Bank XXX kepada PT. A tersebut di atas, selanjutnya mendapat jaminan dari Tn. F dan Ny. K (suami-istri) sebagai penjamin (avalist) dengan membuat Surat Pernyataan Penyerahan Tanah/ Melepaskan Hak atas assetnya. Ingatlah tulisan saya sebelumnya DISINI.

Dalam perkembangan selanjutnya pinjaman/kredit ini menjadi kredit macet. Pihak Debitur : PT. A dengan : Tn. H (Direktur Utama) dan Ny. S (Komisaris Utama) tidak mampu membayar kembali Kredit tersebut kepada kreditur, Bank XXX pada hari jatuh temponya.

Setelah diperingatkan sampai tiga kali, belum juga membayar lunas hutangnya tersebut diatas, maka pihak kreditur : Bank XXX sebagai Penggugat mengajukan gugatan perdata di Pengadilan Negeri terhadap Debitur dan “Pinjaman hutang” yaitu :

PT. A sebagai Tergugat I.
Tn. H, untuk diri sendiri dan sebagai Direktur Utama PT. A sebagai Tergugat II.
Ny. S, bertindak untuk diri sendiri dan sebagai Komisaris Utama PT. A sebagai Tergugat III.
Tn. F dan Ny. K (suami-istri) sebagai Tergugat IV.


Di Pengadilan Negeri;
Terungkap bahwa PT. A (tergugat I) sejak didirikan sampai dengan diberikan kredit ternyata belum disyahkan sebagai badan hukum oleh Departemen Kehakiman RI.
Tergugat IV (penjamin) mengajukan gugatan Rekonpensi (gugatan balasan dari penggugat terhadap tergugat), yang menuntut agar Pengadilan Negeri memutuskan a.l:

bahwa PT. A, bukan sebagai badan hukum
bahwa penjamin tidak bertanggung jawab atas pelunasan hutang/kredit yang diterima oleh PT. A.
bahwa penyerahan tanah sebagai jaminan atas pelunasan kredit tidak mempunyai kekuatan hukum
menghukum Bank XXX menyerahkan Surat Pernyataan Melepaskan Hak Atas Tanah, kepada Penjamin.

Majelis Hakim dalam pertimbangannya menyatakan bahwa:

Bahwa PT. A, sejak didirikan sampai dengan peminjaman kredit di Bank XXX  masih belum merupakan Badan Hukum, karena belum memperoleh pengesahan dari Menteri Kehakiman RI
Terbukti bahwa Tergugat II dan tergugat III menerima pinjaman uang dari penggugat yang tidak dilunasi oleh tergugat II dan Tergugat III, hal ini merupakan perbuatan “Perbuatan Cidera Janji” (wanprestasi)
Ternyata Tergugat IV memberikan jaminan untuk Tergugat I (PT. A) yang saat itu belum merupakan Badan Hukum

Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, Majelis Hakim Pengadilan Negeri memberi putusan yang pada pokoknya sebagai berikut: Perbuatan Tergugat II dan III yang tidak membayar lunas hutangnya kepada penggugat adalah “Perbuatan Cidera Janji”(wanprestasi).

Dalam Rekonpensi (gugatan balik/balasan dari penggugat terhadap tergugat):

Menyatakan Tergugat I Konpensi (PT. A) bukan sebagai Badan Hukum
Menyatakan Penggugat Rekonpensi (Penjamin) tidak turut bertanggung jawab atas pelunasan kredit.
Menyatakan penyerahan tanah sebagai jaminan pelunasan kredit/hutang tidak mempunyai kekuatan hukum
Menghukum Tergugat (Rekonpensi Bank XXX) menyerahkan Surat Pernyataan Melepaskan Hak Atas Tanah.

Di Pengadilan Tinggi;
Dengan Pertimbangan hukum bahwa karena Tergugat II dan Tergugat III mengakui adanya pinjaman dimana Tergugat IV mengakui juga sebagai Penjamin (Avalist), maka Tergugat IV tetap bertanggung jawab sampai pinjaman dilunasi oleh Tergugat II dan Tergugat III.
Berdasarkan pertimbangan tersebut Majelis Hakim Pengadilan Tinggi menyatakan bahwa Tergugat IV (penjamin) juga telah melakukan wanprestasi.
Membatalkan Putusan Majelis hakim Pengadilan Negeri yang menyatakan penyerahan tanah sebagai jaminan hutang/kredit tidak mempunyai kekuatan hukum.
Di Mahkamah Agung;
Saat Kasasi, Mahkamah Agung memutuskan pada pokoknya adalah sebagai berikut:
Menghukum Tergugat II dan Tergugat III membayar hutangnya kepada Bank XXX
Menyatakan Tergugat I (PT. A) bukan sebagai Badan Hukum, karena belum memperoleh pengesahan dari Menteri Kehakiman RI
Menyatakan Hutang/kredit dimaksud bukan hutang/kredit Tergugat I (PT. A)
Menyatakan Tergugat IV (Penjamin) Tidak turut bertanggung jawab terhadap pelunasan hutang/kredit dimaksud.
Menyatakan Penyerahan Tanah dan Surat Pernyataan Melepaskan Hak Atas Tanah oleh Tergugat IV(penjamin) terhadap pelunasan hutang/kreditTergugat I (PT. A) tidak mempunyai kekuatan hukum

Pelajaran dari sisi Hukum yang setidaknya dapat kita tarik dalam perkara ini, pihak Bank XXX selaku kreditur memberikan pinjaman kredit kepada badan hukum perseroan “Perseroan Terbatas”/ PT. A.
Dalam perjanjian pinjaman kredit tindakan ini diwakili oleh Direktur Utama dan Komisarisnya (Tergugat II dan III). Terhadap Pinjaman Kredit tersebut Pihak Tergugat II dan III memberikan jaminan tanah milik Pihak Ketiga (dalam perkara ini selakuTergugat IV) sebagai “Penjamin” (Avalist).

Karena PT. A selaku Debitur tidak membayar lunas hutangnya tersebut (cidera- janji), maka tanggungjawab membayar hutang tersebut, ada pada Direktur Utama dan Komisarisnya secara pribadi (personal responsibility) dan bukan menjadi tanggungjawab hukum dari PT. A selaku Badan Hukum, karena Fakta Hukum yang terjadi “Perseroan Terbatas” (PT. A) tersebut, sejak didirikan sampai diterimanya pinjaman dari Bank, ternyata masih belum memperoleh pengesahan dari Departemen, Kehakiman dan HAM sebagai suatu Badan Hukum.

Sedikit analisa perkara ini, majelis Hakim Tingkat Pertama dan Terakhir pada hakikatnya telah memberikan pertimbangan hukum yang baik berdasarkan hukum Perseroan Terbatas (PT) memiliki dua sisi, yaitu pertama sebagai suatu badan hukum dan kedua pada sisi yang lain adalah wadah atau tempat diwujudkannya kerja sama antara para pemegang saham atau pemilik modal.

Penjaminan (avalist) yang dilakukan oleh Pihak ketiga (Tergugat IV) dari Suatu Utang (antara Kreditur dan Debitur), beberapa ketentuan yang diatur dalam KUHPerdata, mengatur unsur-unsur formal yang melekat pada perjanjian pemberian jaminan ialah bahwa penjamin menjamin dipenuhinya perikatan pihak ketiga. Isi perjanjian itu sendiri bisa beraneka ragam. Namun esensi perjanjian pemberian jaminan itu adalah bentuknya, yakni suatu kewajiban accessoir bagi pemenuhan suatu perikatan pihak lain yang timbul dari perjanjian lain.

Perjanjian pemberian jaminan dapat disebut sebagai perjanjian accessoir karena perjanjian itu tidak mungkin berdiri sendiri. Keberadaannya bergantung pada suatu perjanjian pokok, karena pada prinsipnya tiada suatu perjanjian jaminan tanpa suatu perjanjian pokok.
Ketentuan terhadap lepasnya tanggungjawab Pihak Penjamin seiring dengan dengan KUHPerdata berbicara perihal pemenuhan perikatan dan tidak berbicara perihal pemenuhan tanggung jawab. Dengan demikian isi prestasi seorang Penjamin adalah sama dengan isi prestasi yang harus dipenuhi oleh Debitur.

Secara yuridis kontruksinya adalah sebagai berikut : apabila si Penjamin memenuhi prestasinya Sesuai isi perjanjian pemberian jaminan, maka pada saat bersamaan ia memenuhi juga prestasi (membayar hutang) orang yang dijamin. Kontruksi sedemikian ini hanya dimungkinkan, apabila isi prestasi dari kedua perjanjian itu sama.

Dalam praktek, sifat accessoir dari suatu perjanjian pemberian jaminan telah kehilangan artinya. Hal ini disebabkan karena dalam hampir semua perjanjian pemberian jaminan Penjamin mengesampingkan haknya agar kreditur menuntut pembayaran terlebih dahulu dari debitur.

KUHPerdata menyatakan bahwa Penjamin tidak wajib membayar kepada Kreditur kecuali jika
Debitur lalai membayar hutangnya; dalam hal itupun barang kepunyaan Debitur harus disita dan dijual terlebih dahulu untuk melunasi hutangnya

Selanjutnya Penjamin (Avalist) tidak dapat dituntut untuk melaksanakan kewajiban hukum sebagai “Penjamin/Avalist” membayar hutang PT. A yang belum berstatus
sebagai Badan Hukum tersebut, disamping tidak memenuhi kewajiban pembayaran hutang (pemenuhan perikatan).

Maka sesuai dengan UUPT Pemegang Saham dan Direksi secara tanggung renteng bertanggung jawab atas segala perbuatan hukum termasuk hutang terhadap Bank XXX yang dilakukan perseroan.







[1] BW, Pasal 1131
[2] Satrio, 2002:3
[3] HS, 2004:6
[4] Hadisoprapto, 1984: 50
[5] Google

1 komentar:

  1. Mohon izin menjadikan tulisan sebagai materi presentasi mata kuliah kelompok saya. terima kasih :)

    BalasHapus