Hukum Jaminan
Oleh: Artha Diana Putri
Jaminan adalah suatu yang
diberikan kepada kepada kreditur untuk menimbulkan keyakinan bahwa debitur akan
memenuhi kewajiban yang dapat dinilai dengan uang yang timbul dari suatu
perikatan.[1]
Menurut
J. Satrio hukum Jaminan adalah peraturan hukum yang mengatur tentang
jaminan-jaminan Piutang seorang Kreditor terhadap Debitor.[2]
Menurut
Salim HS Hukum Jaminan adalah keseluruhan dari kaidah-kaidah hukum yang
mengatur hubungan antara pemberi dan penerima jaminan dalam kaitannya dengan
pembebanan untuk mendapatkan fasilitas kredit.[3]
Menurut
Hadiesoeprapto Hukum Jaminan adalah sesuatu yang diberikan kepada kreditur
untuk menimbulkan keyakinan bahwa debitur akan memenuhi kewajiban yang dapat
dinilai dengan uang yang timbul dari suatu perikatan.[4]
Menurut Mariam Darus Badrulzaman Hukum Jaminan adalah suatu
tanggungan yang diberikan oleh seorang Debitor dan atau pihak ketigakepada
kreditur untuk untuk menjamin
kewajibannya dalam suatu
perikatan.[5]
Menurut Penulis Hukum jaminan adalah seperangkat aturan yang
mengatur hubungan hukum antara kreditur dan debitur tentang jaminan Piutang
untuk mendapatkan Fasilitas Kredit.
Azas hukum jaminan :
asas publicitet : asas bahwa
semua hak, baik hak tanggungan, hak fidusia, dan hipotik harus didaftarkan.
asas specialitet : bahwa hak
tanggungan, hak fidusia, dan hak hipotik
hanya dapat dibebankan atas percil atau atas barang – barang yang sudah
terdaftar atas nama orang tertentu.
asas tak dapat dibagi – bagi :
asas dapat dibaginya hutang tidak dapat mengakibatkan dapat dibaginya hak
tanggungan, hak fidusia, hipotik,dan hak gadai walaupun telah dilakukan
pembayaran sebagian.
asas inbezittstelling yaitu
barang jaminan ( gadai ) harus berada pada penerima gadai.
asas horizontal yaitu bangunan
dan tanah bukan merupakan satu kesatuan.
Jaminan ada 2 (dua) yaitu :
Jaminan umum yaitu jaminan dari
pihak debitur yang terjadi atau timbul dari undang-undang, yaitu bahwa setiap
barang bergerak ataupun tidak bergerak milik debitur menjadi tanggungan
utangnya kepada kreditur. Maka apabila debitur wanprestasi maka kreditur dapat
meminta pengadilan untuk menyita dan melelang seluruh harta debitur.
Jaminan khusus yaitu bahwa setiap
jaminan utang yang bersifat kontraktual, yaitu yang terbit dari perjanjian
tertentu, baik yang khusus ditujukan terhadap benda-benda tertentu maupun orang
tertentu.
Orang lebih memilih Jaminan
Khusus karena :
Eksekusi benda jaminannya lebih
mudah, sederhana dan cepat jika debitur melakukan wanprestasi
Kreditur jaminan khusus
didahulukan dibanding kereditur jaminan umum dalam pemenuhan piutangnya.
Jaminan Khusus ada 2 (dua) yaitu
:
Jaminan kebendaan adalah jaminan
yang berupa hak mutlak atas suatu benda, mempunyai hubungan langsung atas benda
tertentu debitur, dapat dipertahankan terhadap siapapun, selalu mengikuti
bendanya (droit de suite) dan dapat di peralihkan (contoh : Hipotik, gadai
dll).
Jaminan immaterial (perorangan)
adalah jaminan yang menimbulkan hubungan langsung pada perorangan tertentu,
hanya dapat dipertahankan terhadap debitur tertentu, terhadap harta kekayaan
debitur umumnya (Contoh borgtocht)
Kasus
Sengketa Kerjasama Asset untuk Agunan/Jaminan Kredit Macet Perbankan[6]
Saat
ini, Kasus Sengketa Kerjasama Asset untuk Agunan/Jaminan Kredit Perbankan ,
semakin sering terjadi. Hal ini karena para pihak yang terlibat, Perusahaan
(pemilik pekerjaan/proyek) , Mitra Penjamin/Avalist (biasanya pemilik asset
untuk diagunkan), bahkan pihak Perbankan sebagai kreditur pun kurang memahami
aspek-aspek legal/hukum yang berlaku dan kurang berhati-hati.
Berikut
ini saya akan ceritakan sebuah kasus yang kita bisa ambil pelajaran
daripadanya.
Awalnya
ketika Bank XXX memberikan pinjaman/kredit dalam jangka waktu 12 bulan kepada
Debitur yaitu PT. A, yang diwakili oleh Direktur Utama : Tn. H, dan Komisaris
Utama Ny. S. Pinjaman/Kredit yang diberikan Bank XXX kepada PT. A tersebut di
atas, selanjutnya mendapat jaminan dari Tn. F dan Ny. K (suami-istri) sebagai
penjamin (avalist) dengan membuat Surat Pernyataan Penyerahan Tanah/ Melepaskan
Hak atas assetnya. Ingatlah tulisan saya sebelumnya DISINI.
Dalam
perkembangan selanjutnya pinjaman/kredit ini menjadi kredit macet. Pihak
Debitur : PT. A dengan : Tn. H (Direktur Utama) dan Ny. S (Komisaris Utama)
tidak mampu membayar kembali Kredit tersebut kepada kreditur, Bank XXX pada
hari jatuh temponya.
Setelah
diperingatkan sampai tiga kali, belum juga membayar lunas hutangnya tersebut
diatas, maka pihak kreditur : Bank XXX sebagai Penggugat mengajukan gugatan
perdata di Pengadilan Negeri terhadap Debitur dan “Pinjaman hutang” yaitu :
PT.
A sebagai Tergugat I.
Tn.
H, untuk diri sendiri dan sebagai Direktur Utama PT. A sebagai Tergugat II.
Ny.
S, bertindak untuk diri sendiri dan sebagai Komisaris Utama PT. A sebagai
Tergugat III.
Tn.
F dan Ny. K (suami-istri) sebagai Tergugat IV.
Di
Pengadilan Negeri;
Terungkap
bahwa PT. A (tergugat I) sejak didirikan sampai dengan diberikan kredit
ternyata belum disyahkan sebagai badan hukum oleh Departemen Kehakiman RI.
Tergugat
IV (penjamin) mengajukan gugatan Rekonpensi (gugatan balasan dari penggugat
terhadap tergugat), yang menuntut agar Pengadilan Negeri memutuskan a.l:
bahwa
PT. A, bukan sebagai badan hukum
bahwa
penjamin tidak bertanggung jawab atas pelunasan hutang/kredit yang diterima
oleh PT. A.
bahwa
penyerahan tanah sebagai jaminan atas pelunasan kredit tidak mempunyai kekuatan
hukum
menghukum
Bank XXX menyerahkan Surat Pernyataan Melepaskan Hak Atas Tanah, kepada
Penjamin.
Majelis
Hakim dalam pertimbangannya menyatakan bahwa:
Bahwa
PT. A, sejak didirikan sampai dengan peminjaman kredit di Bank XXX masih belum merupakan Badan Hukum, karena
belum memperoleh pengesahan dari Menteri Kehakiman RI
Terbukti
bahwa Tergugat II dan tergugat III menerima pinjaman uang dari penggugat yang
tidak dilunasi oleh tergugat II dan Tergugat III, hal ini merupakan perbuatan
“Perbuatan Cidera Janji” (wanprestasi)
Ternyata
Tergugat IV memberikan jaminan untuk Tergugat I (PT. A) yang saat itu belum
merupakan Badan Hukum
Berdasarkan
pertimbangan tersebut di atas, Majelis Hakim Pengadilan Negeri memberi putusan
yang pada pokoknya sebagai berikut: Perbuatan Tergugat II dan III yang tidak
membayar lunas hutangnya kepada penggugat adalah “Perbuatan Cidera
Janji”(wanprestasi).
Dalam
Rekonpensi (gugatan balik/balasan dari penggugat terhadap tergugat):
Menyatakan
Tergugat I Konpensi (PT. A) bukan sebagai Badan Hukum
Menyatakan
Penggugat Rekonpensi (Penjamin) tidak turut bertanggung jawab atas pelunasan
kredit.
Menyatakan
penyerahan tanah sebagai jaminan pelunasan kredit/hutang tidak mempunyai
kekuatan hukum
Menghukum
Tergugat (Rekonpensi Bank XXX) menyerahkan Surat Pernyataan Melepaskan Hak Atas
Tanah.
Di
Pengadilan Tinggi;
Dengan
Pertimbangan hukum bahwa karena Tergugat II dan Tergugat III mengakui adanya
pinjaman dimana Tergugat IV mengakui juga sebagai Penjamin (Avalist), maka
Tergugat IV tetap bertanggung jawab sampai pinjaman dilunasi oleh Tergugat II
dan Tergugat III.
Berdasarkan
pertimbangan tersebut Majelis Hakim Pengadilan Tinggi menyatakan bahwa Tergugat
IV (penjamin) juga telah melakukan wanprestasi.
Membatalkan
Putusan Majelis hakim Pengadilan Negeri yang menyatakan penyerahan tanah
sebagai jaminan hutang/kredit tidak mempunyai kekuatan hukum.
Di
Mahkamah Agung;
Saat
Kasasi, Mahkamah Agung memutuskan pada pokoknya adalah sebagai berikut:
Menghukum
Tergugat II dan Tergugat III membayar hutangnya kepada Bank XXX
Menyatakan
Tergugat I (PT. A) bukan sebagai Badan Hukum, karena belum memperoleh
pengesahan dari Menteri Kehakiman RI
Menyatakan
Hutang/kredit dimaksud bukan hutang/kredit Tergugat I (PT. A)
Menyatakan
Tergugat IV (Penjamin) Tidak turut bertanggung jawab terhadap pelunasan
hutang/kredit dimaksud.
Menyatakan
Penyerahan Tanah dan Surat Pernyataan Melepaskan Hak Atas Tanah oleh Tergugat
IV(penjamin) terhadap pelunasan hutang/kreditTergugat I (PT. A) tidak mempunyai
kekuatan hukum
Pelajaran
dari sisi Hukum yang setidaknya dapat kita tarik dalam perkara ini, pihak Bank
XXX selaku kreditur memberikan pinjaman kredit kepada badan hukum perseroan
“Perseroan Terbatas”/ PT. A.
Dalam
perjanjian pinjaman kredit tindakan ini diwakili oleh Direktur Utama dan
Komisarisnya (Tergugat II dan III). Terhadap Pinjaman Kredit tersebut Pihak
Tergugat II dan III memberikan jaminan tanah milik Pihak Ketiga (dalam perkara
ini selakuTergugat IV) sebagai “Penjamin” (Avalist).
Karena
PT. A selaku Debitur tidak membayar lunas hutangnya tersebut (cidera- janji),
maka tanggungjawab membayar hutang tersebut, ada pada Direktur Utama dan
Komisarisnya secara pribadi (personal responsibility) dan bukan menjadi
tanggungjawab hukum dari PT. A selaku Badan Hukum, karena Fakta Hukum yang
terjadi “Perseroan Terbatas” (PT. A) tersebut, sejak didirikan sampai
diterimanya pinjaman dari Bank, ternyata masih belum memperoleh pengesahan dari
Departemen, Kehakiman dan HAM sebagai suatu Badan Hukum.
Sedikit
analisa perkara ini, majelis Hakim Tingkat Pertama dan Terakhir pada hakikatnya
telah memberikan pertimbangan hukum yang baik berdasarkan hukum Perseroan
Terbatas (PT) memiliki dua sisi, yaitu pertama sebagai suatu badan hukum dan
kedua pada sisi yang lain adalah wadah atau tempat diwujudkannya kerja sama
antara para pemegang saham atau pemilik modal.
Penjaminan
(avalist) yang dilakukan oleh Pihak ketiga (Tergugat IV) dari Suatu Utang (antara
Kreditur dan Debitur), beberapa ketentuan yang diatur dalam KUHPerdata,
mengatur unsur-unsur formal yang melekat pada perjanjian pemberian jaminan
ialah bahwa penjamin menjamin dipenuhinya perikatan pihak ketiga. Isi
perjanjian itu sendiri bisa beraneka ragam. Namun esensi perjanjian pemberian
jaminan itu adalah bentuknya, yakni suatu kewajiban accessoir bagi pemenuhan
suatu perikatan pihak lain yang timbul dari perjanjian lain.
Perjanjian
pemberian jaminan dapat disebut sebagai perjanjian accessoir karena perjanjian
itu tidak mungkin berdiri sendiri. Keberadaannya bergantung pada suatu
perjanjian pokok, karena pada prinsipnya tiada suatu perjanjian jaminan tanpa
suatu perjanjian pokok.
Ketentuan
terhadap lepasnya tanggungjawab Pihak Penjamin seiring dengan dengan KUHPerdata
berbicara perihal pemenuhan perikatan dan tidak berbicara perihal pemenuhan
tanggung jawab. Dengan demikian isi prestasi seorang Penjamin adalah sama
dengan isi prestasi yang harus dipenuhi oleh Debitur.
Secara
yuridis kontruksinya adalah sebagai berikut : apabila si Penjamin memenuhi
prestasinya Sesuai isi perjanjian pemberian jaminan, maka pada saat bersamaan
ia memenuhi juga prestasi (membayar hutang) orang yang dijamin. Kontruksi
sedemikian ini hanya dimungkinkan, apabila isi prestasi dari kedua perjanjian
itu sama.
Dalam
praktek, sifat accessoir dari suatu perjanjian pemberian jaminan telah
kehilangan artinya. Hal ini disebabkan karena dalam hampir semua perjanjian
pemberian jaminan Penjamin mengesampingkan haknya agar kreditur menuntut
pembayaran terlebih dahulu dari debitur.
KUHPerdata
menyatakan bahwa Penjamin tidak wajib membayar kepada Kreditur kecuali jika
Debitur
lalai membayar hutangnya; dalam hal itupun barang kepunyaan Debitur harus
disita dan dijual terlebih dahulu untuk melunasi hutangnya
Selanjutnya
Penjamin (Avalist) tidak dapat dituntut untuk melaksanakan kewajiban hukum
sebagai “Penjamin/Avalist” membayar hutang PT. A yang belum berstatus
sebagai
Badan Hukum tersebut, disamping tidak memenuhi kewajiban pembayaran hutang
(pemenuhan perikatan).
Maka
sesuai dengan UUPT Pemegang Saham dan Direksi secara tanggung renteng
bertanggung jawab atas segala perbuatan hukum termasuk hutang terhadap Bank XXX
yang dilakukan perseroan.
Mohon izin menjadikan tulisan sebagai materi presentasi mata kuliah kelompok saya. terima kasih :)
BalasHapus